Selasa, 16 Juni 2009

Landasan Pendidikan Jepang

1 PENDAHULUAN

1.1 Sejarah Jepang Umum

Dunia telah menyadari bahwasanya bangsa jepang adalah bangsa yang besar, tangguh dan mudah beradaptasi. Pada saat Restorasi Meiji (Meiji Ishin) tahun 1868 berakhir dan dekade sesudahnya, bangsa Jepang telah membelalakkan mata dunia menjadi bangsa yang pilih tanding dalam kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi. Bangsa Jepang barhasil mereformasi pendidikan secara menyeluruh yang disesuaikan dengan dunia Barat.

Kondisi pendidikan di jepang di masa lampau hampir mirip dengan pola pendidikan di Indonesia. Sejarah jepang mencatat sebelum Restorasi Meiji, Jepang melaksanakan pendidikannya berdasarkan sistem masyarakat feodal, yaitu pendidikan untuk samurai, petani, tukang, pedagang, serta rakyat jelata. Kegiatan ini dilaksanakan di kuil dengan bimbingan para pendeta Budha yang terkenal dengan sebutan Terakoya (sekolah kuil). Mirip dengan pesantren maupun pola perguruan di Indonesia.

Reformasi segala bidang mulai nampak pada saat Jepang memilih paradigma pendidikan baru. Semenjak Restorasi Meiji dikibarkan, bagai bola salju, pemerintah Jepang terus “menggelindingkan” puspa ragam kebijaksanaannya dengan mulai giat menerjemahkan dan menerbitkan berbagai macam buku, di antaranya tentang ilmu pengetahuan, sastra, maupun filsafat. Para pemuda banyak dikirim ke luar negeri untuk belajar sesuai dengan bidangnya masing- masing, tujuannya jelas yaitu mencari ilmu dan menanamkan keyakinan bahwa Jepang akan dapat “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” dengan kemajuan dunia Barat.

Dampak paradigma baru dalam dunia pendidikan mulai membuahkan hasil dengan munculnya beberapa tokoh pendidikan. Tokoh modernisasi pendidikan Jepang era Meiji seperti Fukuzawa Yukichi, yang punya gagasan cemerlang. Gagasan yang terkenal tercetus dalam bukunya berjudul Gakumon no Susume (yang dikutip dari pikiran rakyat, Jepang: di antara Feodalisme dan Modernisasi) menyatakan pada bagian pendahulaun buku tersebut “Sebagai jalan yang paling ampuh untuk mencapai tujuan negara adalah melalui pendidikan sebab Tuhan tidak menempatkan manusia yang lain. Kalau kenyataan dalam masyarakat memang ada orang yang berkedudukan lebih tinggi dan ada pula yang berkedudukan lebih rendah. Perbedaan ini disebabkan karena yang berkedudukan tinggi telah mementingkan pendidikan, sedangkan yang rendah sebaliknya”.

Permasalahan bukan dijadikan bencana nasional namun dijadikan tonggak pijakan bagi perkembangan pendidikan di Jepang. Kemajuan bangsa Jepang bertambah “runcing” sesudah tentara pendudukan Amerika Serikat (AS) ( setelah Jepang kalah perang pada PD II) banyak memberikan dorongan pada bangsa Jepang untuk mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan. Struktur baru pendidikan yang dikembangkan Amerika Serikat yang dikutip dari Cummings (1984), dalam artikel pikiran rakyat dalam ada empat hal pokok yang dapat dijelaskan. (1), sekolah dasar (SD) wajib selama enam tahun dan tidak dipungut biaya. Bertujuan untuk menyiapkan anak menjadi warga yang sehat, aktif menggunakan pikiran, dan mengembangkan kemampuan pembawaannya. (2), sesudah SD ada sekolah lanjutan pertama selama tiga tahun, punya tujuan untuk mementingkan perkembangan kepribadian siswa, kewarganegaraaan, dan kehidupan dalam masyarakat serta mulai diberikan kesempatan belajar bekerja.

(3), setelah sekolah lanjutan pertama, ada sekolah lanjutan selama tiga tahun. Bertujuan untuk menyiapkan siswa masuk perguruan tinggi dan memperoleh keterampilan kerja. Keempat, universitas harus berperan secara potensial dalam mengembangkan pikiran liberal dan terbuka bagi siapa saja, bukan pada sekelompok orang. Munculnya struktur baru pendidikan di Jepang yang di kembangkan Amerika Serikat, merupakan bentuk “revisi” dari struktur pendidikan lama yang sudah ada sebelum Perang Dunia II.

1.2 Kemajuan Bangsa Jepang

Jepang telah mampu membuktikan jati dirinya sebagai bangsa besar melalui pendidikan. Keseriusan dalam mencerdaskan bangsanya telah menuai hasil yang signifikan. Korelasi antara majunya pendidikan Jepang dan kemajuan industrinya benar-benar terwujud. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan bangsa Jepang tumbuh menjadi negara industri utama di Asia, yang kedudukannya sejajar dengan bangsa Barat lain seperti Inggris maupun Prancis.

Badan-badan dunia telah mengakui kemajuan dan kinerja jepang lebih baik di banding indonesia . The Political and Economic Risk Consultancy (PERC), lembaga konsultan yang berkedudukan di Hong Kong pada akhir tahun 2001 (Republika, 03/05/02) menempatkan Jepang dalam urutan ketiga di bawah Korea Selatan dan Singapura, dalam Human Development Index atau indeks pembangunan manusia (IPM). Sementara itu, kalau kita bandingkan dengan IPM Indonesia, sungguh sangat jauh. Dari 12 negara Asia yang disurvei, Indonesia berada di urutan juru kunci. Hasil survei tahun 2000 dari United Nation Development Program (UNDP), badan PBB yang mengurus program pembangunan, menempatkan Indonesia di urutan ke- 109 dari 174 anggota PBB (Republika, ibid). Rendahnya IPM Indonesia merupakan ouput dari mutu sistem pendidikan.

2 JEPANG DAN INDONESIA

2.1 Perbandingan Budaya Jepang dan Indonesia

Memahami dan membandingkan suatu negara dengan negara lainnya memerlukan alat ukur berupa budaya di negara tersebut. Budaya adalah kristalisasi nilai dan pola hidup yang dianut suatu komunitas. Budaya tiap komunitas tumbuh dan berkembang secara unik, karena perbedaan pola hidup komunitas itu. Perbandingan budaya Jepang dan Indonesia berarti mencari nilai-nilai kesamaan dan perbedaan antara bangsa Indonesia dan bangsa Jepang. Dengan mengenali persamaan dan perbedaan kedua budaya itu, kita akan semakin dapat memahami keanekaragaman pola hidup yang ada, yang akan bermanfaat saat berkomunikasi dan berinteraksi dengan pihak yang berasal dari budaya yang berbeda.

Ditilik dari sisi budaya, Indonesia lebih beragam dibanding Jepang. Sehingga kita akan mudah menjustifikasi dalam membandingkan budaya Indonesia dan Jepang. Terdapat perbedaan karakteristik budaya pada kedua bangsa tersebut. Bangsa Jepang relatif homogen, dan hanya memiliki sekitar 15 bahasa (tidak berarti 15 suku bangsa, karena termasuk didalamnya sign language untuk tuna rungu). Sebaliknya bangsa Indonesia berciri heterogen, multi etnik, memiliki lebih dari 700 bahasa, sehingga tidak mudah untuk merangkai srpihan-serpihan budaya sehingga dapat mewakili budaya Indonesia secara nasional. Menurut kalkulasi humaniora bangsa jepang relatif lebih homogen, sehingga nilai-nilai budaya itu lebih mengkristal. Sedangkan kalkulasi humaniora terhadap bangsa indonesia memerlukan tenaga ekstra untuk menyatukan budaya. Bangsa Indonesia memerlukan kehati-hatian dalam memilah nilai-nilai mana yang diterima secara nasional di Indonesia, dan mana yang merupakan karakter unik salah satu suku yang ada.

Negara jepang memiliki intervensi tinggi terhadap budaya. Negara memandang penghormatan bangsa jepang terhadap keluarga sangat sangat diperlukan. Jika kita amati nama di Jepang terdiri dari dua bagian : family name dan first name. Secara administratif nama seseorang harus dicatatkan di kantor pemerintahan (kuyakusho), selambat- lambatnya 14 hari setelah seorang bayi dilahirkan. Semua orang di Jepang kecuali keluarga kaisar, memiliki nama keluarga. Tradisi pemakaian nama keluarga ini berlaku sejak jaman restorasi Meiji, sedangkan di era sebelumnya umumnya masyarakat biasa tidak memiliki nama keluarga. Sejak restorasi meiji, nama keluarga menjadi keharusan di Jepang. Nama keluarga yang populer diantaranya adalah Satou dan Suzuki. Jika seorang wanita menikah, maka dia akan berganti nama keluarga, mengikuti nama suaminya. Namun demikian, banyak juga wanita karir yang tetap mempertahankan nama keluarganya. Dari survey yang dilakukan pemerintah tahun 1997, sekitar 33% dari responden menginginkan agar walaupun menikah, mereka diizinkan untuk tidak berganti nama keluarga (Osamu Ikeno:2002).Pada umumnya. Tradisi penamaan di Jepang dalam memilih first name, dibuat dengan memperhatikan makna huruf Kanji dan diiringi dengan harapan atau doa bagi kebaikan si anak.

Tata penamaan seseorang di Indonesia sangat beragam dan dapat dijadikan identifikasi dari mana sesorang berasal. Tata penamaan seseorang di Indonesia adalah tidak semua suku memiliki tradisi nama keluarga. Masyarakat Jawa misalnya, tidak memiliki nama keluarga. Tetapi suku di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi memiliki nama keluarga. Dari nama seseorang, kita dapat memperkirakan dari suku mana dia berasal, agama apa yang dianut dsb. Berikut karakteristik nama tiap suku di Indonesia

· Suku Jawa (sekitar 45% dari seluruh populasi) : biasanya diawali dengan Su (untuk laki- laki) atau Sri (untuk perempuan), dan memakai vokal “o”. Contoh : Sukarno, Suharto, Susilo, Joko, Anto, Sri Miranti, Sri Ningsih.

· Suku Sunda(sekitar 14% dari seluruh populasi) : banyak yang memiliki perulangan suku kata. Misalnya Dadang, Titin, Iis, Cecep

· Suku Batak : beberapa contoh nama marga antara lain Harahap, Nasution.

· Suku Minahasa : beberapa contoh nama marga antara lain Pinontoan, Ratulangi.

· Suku Bali : Ketut, Made, Putu, Wayan dsb. Nama ini menunjukkan urutan, bukan merupakan nama keluarga.

Di Indonesia tata nama seseorang tidak hanya dipengaruhi dari tradisi kesukuan, banyak nama yang diambil dari pengaruh agama. Misalnya umat Islam : Abdurrahman Wahid, Abdullah, dsb. Sedangkan umat Katolik biasanya memakai nama baptis : Fransiskus, Bonivasius, Agustinus, dsb.

Pada tradisi budaya penamaan terdapat kesamaan. Baik di Jepang maupun di Indonesia dalam memilih nama (first name) sering memilih kata yang mensimbolkan makna baik, sebagai doa agar si anak kelak baik jalan hidupnya. Pada umumnya Umumnya laki-laki di Jepang berakhiran “ro” , sedangkan perempuan berakhiran “ko”.Perbedaan antara kedua tradisi sbb.

· Di Jepang, nama keluarga dimasukkan dalam catatan sipil secara resmi, tetapi di Indonesia nama keluarga ini tidak dicatatkan secara resmi di kantor pemerintahan. Nama family/marga tidak diperkenankan untuk dicantumkan di akta kelahiran Kecuali memang nama tersebut menjadi nama satu kesatuan yang utuh. Artinya tidak mengenal first name dan last name

· Di Jepang setelah menikah seorang wanita akan berganti nama secara resmi mengikuti nama keluarga suaminya. Sedangkan di Indonesia saat menikah, seorang wanita tidak berganti nama keluarga. Tapi ada juga yang nama keluarga suami dimasukkan di tengah, antara first name dan nama keluarga wanita, sebagaimana di suku Minahasa. Di Indonesia umumnya setelah menikah nama suami dilekatkan di belakang nama istri. Misalnya saja Prio Jatmiko menikah dengan Sri Suwarni, maka istri menjadi Sri Suwarni Jatmiko. Tetapi penambahan ini tidak melewati proses legalisasi/pencatatan resmi di kantor pemerintahan.

Dampak tradisi pada hubungan bernegara, berbangsa dan kehidupan dalam keseharian. Bagi orang Indonesia yang datang di Jepang, saat registrasi, misalnya membuat KTP sering ditanya mana yang family name, dan mana yang first name. Sebagai penulis yang lahir dan dibesarkan di Indonesia tentunya sudah tidak asing lagi dengan kesulitan menulis nama. Penentuan satu nama sebagai family name, misalnya saat menulis paper (artikel ilmiah resmi), atau untuk kepentingan pekerjaan.

Perbedaan tradisi lainnya adalah mengenai tanda tangan. Di Indonesia dalam berbagai urusan adminstrasi formal sebagai tanda pengesahan, tiap orang membubuhkan tanda tangan. Banyak orang indonesia memiliki tanda tangan berasal dari inisial nama, tetapi dengan cara penulisan yang unik yang membedakan dengan orang lain yang mungkin memiliki nama sama. Tanda tangan ini juga yang harus dibubuhkan di paspor saat seorang Indonesia akan berangkat ke Jepang. Tetapi begitu tiba di Jepang, tanda tangan yang semula memiliki peran penting, menjadi hilang perananannya. Tanda tangan di Jepang tidak memiliki kekuatan formal. Tradisi masyarakat Jepang dalam membubuhkan tanda tangan adalah dengan memakai inkan (stempel). Biasanya inkan ini bertuliskan nama keluarga. Ada beberapa jenis inkan yang dipakai di Jepang. Antara lain :

· “Mitomein” dipakai untuk keperluan sehari-hari yang tidak terlalu penting, misalnya saat menerima barang kiriman, mengisi aplikasi.

· “Jitsuin” dipakai untuk keperluan penting, seperti membeli rumah, membeli mobil. Inkan tipe ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan.

· “Ginkoin” dipakai untuk membuka rekening di bank

“Jitsuin” dan “ginkoin”sangat jarang dipakai dan harus disimpan baik-baik. Karena kalau hilang akan menimbulkan masalah serius dalam bisnis.Bagi orang asing saat masuk ke Jepang harus membuat inkan. Untuk membuat rekening bank, kita tidak boleh memakai tanda tangan, dan harus memakai inkan.

Perbedaan tradisi tatacara penghormatan juga memiliki perbedaan. Jepang dan Indonesia memiliki tata cara berlainan dalam mengekspresikan penghormatan. Dalam budaya Jepang ojigi adalah cara menghormat dengan membungkukkan badan, misalnya saat mengucapkan terima kasih, permintaan maaf, memberikan ijazah saat wisuda, dsb. Ada dua jenis ojigi : ritsurei dan zarei. Ritsureiadalah ojigi yang dilakukan sambil berdiri. Saat melakukan ojigi, untuk pria biasanya sambil menekan pantat untuk menjaga keseimbangan, sedangkan wanita biasanya menaruh kedua tangan di depan badan. Sedangkan zarei adalah ojigiyang dilakukan sambil duduk. Berdasarkan intensitasnya, ojigi dibagi menjadi 3 : saikeirei , keirei , eshaku . Semakin lama dan semakin dalam badan dibungkukkan menunjukkan intensitas perasaan yang ingin disampaikan. Saikeirei adalah level yang paling tinggi, badan dibungkukkan sekitar 45 derajat atau lebih. Keirei sekitar 30-45 derajat, sedangkan eshaku sekitar 15- 30 derajat. Saikeirei sangat jarang dilakukan dalam keseharian, karena dipakai saat mengungkapkan rasa maaf yang sangat mendalam atau untuk melakukan sembahyang. Untuk lebih menyangatkan, ojigidilakukan berulang kali. Misalnya saat ingin menyampaikan perasaan maaf yang sangat mendalam. Adapun dalam budaya Indonesia, tidak dikenal ojigi.Tradisi penghormatan di Indonesia juga memiliki keragaman. Tradisi cium tangan lazim dilakukan sebagai bentuk penghormatan dari seorang anak kepada orang tua, dari seorang awam kepada tokoh masyarakat/agama, dari seorang murid ke gurunya. Di Jepang tidak dikenal budaya cium tangan.Cium pipi biasa dilakukan di Indonesia saat dua orang sahabat atau saudara bertemu, atau sebagai ungkapan kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya dan sebaliknya. Tradisi ini tidak ditemukan di Jepang. Etnik jawa memiliki tatacara unik yaitu sungkem. Tradisi sungkem lazim di kalangan masyarakat Jawa, tapi mungkin tidak lazim di suku lain. Sungkem dilakukan sebagai tanda bakti seorang anak kepada orang tuanya, seorang murid kepada gurunya. Sungkem biasa dilakukan jika seorang anak akan melangsungkan pernikahan, atau saat hari raya Idul Fitri (bagi muslim), sebagai ungkapan permohonan maaf kepada orang tua, dan meminta doa restunya.

2.2 Karakteristik Bangsa Jepang

Menurut Danasasmita dalam pikiran rakyat, ada beberapa karakteristik lain dari bangsa Jepang yang mendorong bangsa ini maju. (1), orang Jepang menghargai jasa orang lain. Hal ini dibuktikan dengan “ringannya” mereka dalam mengatakan arigatoo (terima kasih) ketika mendapat bantuan orang lain dan tidak menganggap remeh jerih payah orang lain meskipun bantuan itu tidak seberapa. (2), orang Jepang menghargai hasil pekerjaan orang lain, dilambangkan dengan ucapan otsukaresamadeshita (maaf, Anda telah bersusah payah). (3), perlunya setiap orang harus berusaha, dilambangkan dengan ucapan ganbatte kudasai (berusahalah!). (4), orang Jepang punya semangat yang tidak pernah luntur, tahan banting, dan tidak mau menyerah oleh keadaan, yang terkenal dengan semangat bushido (semangat kesatria).

2.3 Arogansi Pendidikan Bangsa Jepang Di Indonesia

Sejarah telah mencatat semangat negara jepang untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, Jepang secara militer melakukan ekspansi ke berbagai negara. Landasan kuat negara jepang dalam melakukan ekspansinya adalah konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Di bidang pendidikan, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.Beberapa pendidikan militer didirikan bangsa jepang di Indonesia

Skenario invasi militer di Indonesia dimulai Februari 1942 dengan menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain: (1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; (2) Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.

Perbahan-perubahan Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. (3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. (4) Pendidikan Tinggi.

Bangsa jepang merupakan bangsa yang tidak mengenal menyerah dalam menanamkan ideologi secara arogansi melalui jalur pendidikan dan selalu berpijak dari kegagalan. Seperti yang telah ditulis dalah sejarah indonesia. Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi Putra Tenaga Rakyat akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.

Jepeng menerapkan paham Behaviorisme dalam dunia pendidikan secara menonjol pada pendidikan. Beberapa catatan penting terhadap prilaku pendudukan jepang. Jepang memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat- istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi; (2) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi; (3) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer; (7) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.

Pembelajaran kecintaan terhadap tanah air merupakan menu pendidikan wajib. Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah- sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua- Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran.

Pemberangusan paham konstruktivisme di dunia pendidikan oleh Jepang. Tercermin dalam prilaku militer jepang. Sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah- sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.

Jepang melakukan politisasi terhadap dunia pendidikan dengan menggunakan konsep like and dislike. Politisasi tersebut tercermin dalam beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah- daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan sebagai bentuk pengawasan dan bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU.

3 PENUTUP

3.1 Perbandingan Budaya

Perbandingan budaya antara Indonesia dan Jepang bermanfaat untuk mengetahui pola berfikir bangsa Indonesia dan bangsa Jepang. Indonesia dan jepang adalah negara yang berbeda. Semua adalah entitas yang menyusun khasanah budaya dunia. Baik budaya Jepang maupun Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Posisi Teknolog Pendidikan bukan hanya untuk memilih prilaku yang baik saja. Karena kebaikan budaya bukan bersifat absolut. Dalam kehidupan bersanding dengan negara lain, Teknolog pendidikan harus mampu menyelaraskan perbedaan itu dengan bijak. Sebagai analogi, untuk mengekspresikan rasa hormat, rasa maaf. Jabat tangan adalah satu- satunya tradisi yang berlaku baik di Jepang maupun Indonesia. Kesalahan yang sering terjadi jika seorang Indonesia baru mengenal budaya Jepang adalah saat melakukan ojigi, wajah tidak ikut ditundukkan melainkan memandang lawan bicara. Hal ini mungkin terjadi karena terpengaruh gaya jabat tangan yang lazim dilakukan sambil saling berpandangan mata. Kesalahan lain yang juga sering terjadi adalah mencampurkan ojigi dan jabat tangan. Hal ini juga kurang tepat dipandang dari tradisi Jepang.

3.2 Faktor Yang Dapat Dimanfaatkan Dalam Pendidikan Nasional

Apapun tulisan mengenai bangsa jepang, selalu tertulis dengan tinta emas bahwasanya Jepang mampu menjaga martabat dan kualitas hidup bangsanya lewat pendidikan. Pendidikan pada hakikatnya adalah sesuatu yang luhur karena di dalamnya mengandung misi kebajikan dan mencerdaskan. Pendidikan tidaklah sekadar proses kegiatan belajar- mengajar saja, melainkan juga sebagai proses penyadaran untuk menjadikan manusia sebagai “manusia”, bukan seolah-olah manusia dijadikan “jagung” atau “padi” yang setiap tiga atau enam bulan sekali mengganti metode “penanamannya”, apabila bagus dilanjutkan dan sebaliknya bila jelek ditinggalkan.

Bagaimanapun harus kita sadari bahwasanya negara Jepang berhasil dalam merombak masyarakat melalui pendidikan. Beberapa faktor yang dapat dijadikan landasan pendidikan di indonesia adalah sebagai berikut. (1), perhatian pada pendidikan dengan berbagai cara dan berbagai pihak (baik sipil maupun militer) (2), Pendidikan Jepang tidak ada diskriminasi terhadap sekolah. (3), kurikulum sekolah Jepang bertitik tolak pada ketrampilan walaupun terkesan sangat berat. (4) Jepang memiliki komitmen terhadap budaya bangsanya dan mampu mengelola budaya melalui aspek hukum

Dampak nyata invasi negara dalam bidang pendidikan dan kebudayaan di jepang cukup signifikan (1) Minat masyarakat yang besar sekali pada pendidikan; (2) prestasi kognitif dan motivasi siswa relatif setaraf; (3) prestasi kognitif siswa rata-rata tinggi; (4) munculnya pelajaran ide egalitarianisme; (5) perubahan sosial yang egalitarian; (6) timbulnya kesamaan yang sama bagi semua lapisan masyarakat.

Layaknya sebuah film, kita perlu melihat kembali Masa keemasan bangsa indonesia sebagai bahan kajian bagi kita semua. Negara Indonesia Indonesia yang dulunya terkenal sebagai negara gemah ripah loh jinawi, tata, titi, tentrem, kerta, raharja (yang kaya raya, tenteram dan makmur) dan sempat menjadi percontohan di bidang pendidikan di kawasan ASEAN, kini harus menjadi jago kandang dalam hal mutu pendidikan.

Komparasi pendidikan jepang dan indonesia kian hari kian jauh Rival tanding kitapun semakin turun. Tentunya kita semua tidak pernah memimpikan akan dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya,, Vietnam dengan negara yang carut marut sekalipun kita masih tertigal dalam pengembangan pendidikan Open Distance Learning, apalagi dengan Malaysia yang nota bene pernah kita jadikan tujuan “ekspor” dosen-dosen kita mengajar di sana. Tidak ketinggalan, kurikulum made in Indonesia pun pernah “dipekerjakan” di Malaysia pada dekade 70-an. Hasilnya sungguh luar biasa, mereka berhasil! Investasi pendidikan yang ditanam bangsa serumpun itu telah berbuah manis. Kemajuan membuat mereka kini berkata “Malaysia is Truly Asia”.

Sebagai bangsa beradab Di kawasan Asia Tenggara, bangsa Indonesia dalam banyak hal sering dikonotasikan negatif oleh bangsa lain. Bangsa ini sering dipandang sebagai bangsa yang “kreatif” (baca: punya akal bulus/licin bagai belut), dalam hal ini yang dijadikan tinjauan adalah KKN dan Terorisme.

Sebagai teknolog Pembelajaran, sosok yang menjaga stmina bertumpah darah hingga bertanah air hingga pada wujud mencintai Indonesia seutuhnya, perlu berkomitmen behwasanya bangsa Indonesia belum kiamat. Walaupun permasalahan dalam negeri tak kunjung selesai dan ada kecenderungan makin berlarut-larut. Teknolog Pembelajaran kita tetap harus punya semangat bushido. Krisis yang melanda bangsa ini begitu multidimensionalnya mulai dari moneter, degradasi moral, lunturnya kepercayaan diri , disintegrasi bangsa, “perang” antarsesama, dan tidak terhitung lagi banyaknya permasalahan rumit yang belum terselesaikan.

Teknolog Pembelajaran perlu memahami adanya “intan” yang terbenam dalam lumpur. Masih banyak generasi penerus kita yang berprestasi dalam arti yang sebenarnya. Permainan belum selesai, “Saudara tua” kita, Jepang, mampu bangkit walaupun telah porak-poranda dihantam bom atom oleh Amerika pada Perang Dunia II. Tetangga kita Vietnam mampu “berdiri tegak” walaupun baru saja (1975-an) berbenah setelah berperang dengan Amerika. Malaysia mampu berdendang dengan (We are truly Asia) setelah hampir 3 dasawarsa “berguru” ke kita.

Rasa nasionalisme kita sebagai warga negara indonesia setiap hari akan diuji. Kita akan dipaksa melihat rumput orang lain yang lebih hijau. Kita perlu memiliki kesepahaman bahwa itu semua merupakan cambuk untuk maju. Kita harus berani mengatakan sebenarnya rumput kita sendiri juga hijau. Kalau kita mampu bangkit dan yakin akan segera keluar dari krisis, serta berkeinginan menanamkan investasi pendidikan, bukan sebuah mimpi kalau nanti kita berhasil dan mengatakan “Indonesia is pure Asia.”

Tidak perlu “ewuh pakewuh” (risih, malu-malu). Pengalaman Jepang dalam merombak masyarakatnya lewat pendidikan, sekiranya bisa “dilirik” untuk dipelajari sungguh-sungguh oleh kita sebagai warga negara Indonesia dalam merencanakan masa depan. Tidak ada salahnya bila kita ngangsu kawruh (mencari ilmu) ke Jepang mengenai pendidikan dan semangat mengelolanya.

Pendidikan adalah penanaman investasi. Kita membutuhkan satu generasi untuk melihat hasil pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan merupakan sarana untuk menjadikan generasi kita sebagai “manusia yang sadar diri” dalam generasi itu. Artinya, menjadikan manusia itu “mengerti” apa yang seharusnya diperbuat dan apa yang tidak, memahami yang baik dilakukan dan yang jelek ditinggalkan, serta mengetahui mana yang merupakan hak dan mana kewajiban. Sebagai Teknolog pendidikan rasanya pantang untuk menjadikan semua itu menjadi kebalikannya.

Pendidikan merupakan sokoguru (penyanggga) kemajuan suatu bangsa. Maju mundurnya suatu bangsa tidak akan lepas dari “hidup” dan “mati”-nya mutu pendidikan negara yang bersangkutan. Kalimat ini menambah banyak statement yang telah ada sebelumnya. Akhir-akhir ini muncul pula sebuah slogan “Pendidikan Adalah Masa Depan Bangsa”. Pernyataan yang berbau klise itu semestinya menjadi cambuk bagi kemajuan pendidikan kita,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar