MENENGOK ke belakang bangsa yang berbentuk kepulauan
terbentang dari Timur Laut ke Barat Daya di lautan bagian Timur benua Asia,
dengan luas kurang lebih 1/5 luas Indonesia ini sungguh sangat menarik.
Bangsa yang dulunya terkenal dengan politik isolasi yang sangat ketat dalam
sejarah bangsa-bangsa besar pada zaman Tokugawa, kini telah mengalami suatu
lompatan jauh sebagai bangsa yang berjaya di dunia, setelah mengalami suatu
revolusi spektakuler pada tahun 1868 yang terkenal dengan nama Restorasi
Meiji yaitu dengan semangat yang mereka tanamkan, Teknologi Barat dan
Semangat Timur (wakon yoosai) ke dalam sanubari rakyat Jepang.
Masa yang ditandai oleh perubahan yang menyeluruh sesudah
kedatangan Komodor Perry itu membawa suatu iklim kebebasan, ambisi,
vitalitas dan panggilan jiwa terhadap atmosfir baru kehidupan. Di mana-mana
eforia bermunculan, kekangan-kekangan dilenyapkan, muncul sikap keterbukaan
yang menggelora. Jepang yang sudah tertutup rapat bagi seluruh dunia hampir
dua abad lamanya mulai membuka jendela kehidupannya lebar-lebar terhadap
pengaruh luar.
Perubahan cenderung melahirkan perbedaan yang mencolok
antara satu generasi dengan generasi lain. Kelompok kaum muda pada masa
Meiji memiliki kesadaran untuk mencapai jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, tumbuh dan berkembang suatu kesadaran akan diri sendiri dan suatu
perasaan memiliki identitas sebagai suatu generasi.
Anak muda Jepang saat itu walaupun masih menghargai
keberadaan generasi tua, namun pengetahuan dan kemampuan yang diwarisi
generasi tua tidaklah sesuai dengan pembaharuan yang tengah terjadi. Menurut
Kokumin no Tomo sebuah majalah terbitan anak muda Jepang antara tahun
1880-1890-an, menyatakan bahwa "orang tua masa kini sudah tidak berguna lagi
bagi masyarakat. Sayang sekali bahwa zaman yang penuh kemajuan, keberadaan
mereka merupakan beban yang menyusahkan saja"
Menurut Ozaki Yukio (1859-1954), dalam "Kajian Tentang
Pemuda" dinyatakan bahwa, masyarakat tergantung kepada kemauan membangun
dari generasi muda dan kemauan yang bersikap konservatif dari generasi tua,
namun saat itu Jepang berada dalam suatu masa pembangunan kembali yang
pesat, maka "Jepang masa kini menjadi milik kaum muda, bukan kaum tua".
Anak muda sekarang
Kata orang bijak, maju mundurnya suatu bangsa tergantung
dari perilaku pemudanya. Potret pemuda Jepang di era 2000-an, sungguh sangat
berbeda dengan keberadaan "mereka" sebagai pemuda pada masa pemerintahan
Meiji. Tanpa bermaksud ngeblok terhadap status quo, menurut hemat penulis
bahwa cara berpikir, perilaku pemuda Jepang sekarang ada kecenderungan
mengarah pada westernisasi yang kebablasan, meskipun parameternya tidak
jelas untuk mendefinisikan kebablasan itu.
Jepang merupakan Parisnya Asia, segala bentuk mode pakaian
akan bisa kita temui di sana. Begitu juga perilaku anak muda sekarang,
dengan rambut di cat dan sepatu dengan sol tinggi (dapat mencapai 20 cm)
sudah bukan pemandangan yang aneh lagi. Utamanya bila kita pergi ke pusat
kota misalnya di Perfektur Aichi yaitu di daerah Nagoya, atau tempat-tempat
trendi di Tokyo, seperti Shinjuku, Shibuya, Harajuku atau pusat
elektroniknya di Akihabara, merupakan tempat anak muda Jepang "nyantai".
Ibarat sebuah permainan karambol, pantulan bolanya
mengarah ke mana-mana, begitu pula trend yang dilakukan dan digunakan oleh
anak muda Jepang, telah membias ke negara tetangganya, seperti China, Korea,
Hongkong, Taiwan, Filipina, atau bahkan telah merasuk ke dalam jiwa anak
muda Indonesia, (dapat kita lihat dandanan pemuda kita yang menggunakan
anting-anting untuk laki-laki dan pengecatan rambut yang begitu mencolok
baik laki-laki maupun perempuan). Gaya berpakaian, perilaku sehari-hari yang
aneh, merupakan pantulan cermin dari sekian banyak sisi anak mudah Jepang
yang telah meng-epidemi.
Kita sering mendengar ungkapan work alcoholic bagi orang
Jepang, atau dalam bahasa Jepangnya terkenal dengan nama Hatarakibachi.
Dengan kecenderungan anak muda Jepang dewasa ini (usia di bawah 30), terjadi
suatu kontradiksi dengan stereotipe orang Jepang yang suka bekerja keras,
kehidupan yang cenderung monoton, dan perlakuan terhadap wanita. Sungguh
dalam satu generasi terjadi Kyuugeki ni Bunka no Henka (perubahan budaya
yang begitu cepat).
Mencari identitas
Kebebasan menurut Albert Camus bukanlah sebuah hadiah
cuma-cuma, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan. Mengapa anak muda
Jepang sekarang begitu penuh vitalitas dan stamina yang prima dalam gaya dan
penampilan serta cenderung atraktif dan dinamis. Jawabnya adalah mereka
ingin mencari identitas. Kebebasan itulah yang sekarang ini diperjuangkan
sebagai bagian dari kenka (berkelahi) dalam mencari jati diri mereka yang
sebenarnya.
Meskipun tidak revolusioner, penampakan jati diri dengan
perilaku dan pemilihan busana yang nganeh-nganehi berlanjut menjadi trend
dan akhirnya menjadi panutan.
Kalau melihat rentetan sejarahnya, Kaum Muda Jepang Baru
setelah tahun 1868 menaruh minat pada isi pendidikan yang baik bagi generasi
baru ini. Sebelum Restorasi Meiji, pemerintahan feodal yang diperintah oleh
"kediktatoran adat-istiadat" telah menekan pendidikan dan mengekang
kreatifitas pemikiran yang progresif.
Dalam buku "Jepang Masa Depan" (1886), karya Tokutomi
Iichiro, atau belakangan terkenal dengan Tokutomi Soho, memakai konsep
Herbert Spencer mengenai evolusi dalam struktur sosial yang menjadi sumber
inspirasinya. Ia berkeyakinan bahwa untuk maju Jepang harus menyerupai
masyarakat Barat, dan sesungguhnya kemajuan Jepang hanya dapat diukur
berdasarkan hasil upayanya untuk menanamkan unsur yang menyerupai barat
(westernisasi).
Kembali ke perilaku anak muda Jepang sekarang yang
cenderung ekstrovet, memang analisis Tokutomi ini akan mendekati kenyataan,
dengan berkaca pada perilaku gaya anak muda Amerika, segala tingkah laku
mereka meguru ke negara Paman Sam.
Sejak di bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada PD II,
bangsa Jepang seolah-olah bangkit dari tidur. Bangsa yang dulunya menganggap
sebagai keturunan dewa, berusaha bangkit dari keterpurukan. Sejak saat
itulah masyarakat (orang tua) Jepang yang sekarang menjadi manusia super
sibuk dalam memulihkan dan menumbuhkan ekonomi Jepang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hatarakibachi (workacoholic)
telah membalikkan kondisi Jepang dari keterpurukan menjadi kedigdayaan, yen
melimpah ruah, munculnya masyarakat ekonomi menengah yang kuat. Namun, dari
semua itu yang menjadi korban adalah keluarga mereka, terutama anak-anak.
Sudah menjadi rahasia umum, dengan ambisi mencari ekonomi
yang mapan, masyarakat Jepang bekerja dari pagi hingga larut malam
menyerupai kehidupan robot serta perputaran yang monoton bagaikan belt
conveyor (roda berputar ) yang di dalam benak mereka hanya satu yaitu kerja
keras. Memang para orangtua Jepang mampu membelikan barang dan permainan apa
saja yang diinginkan anaknya. Ironisnya "jajan" tersebut tidak mampu
menggantikan perhatian penuh dari orangtua. Mereka sedikit sekali
menyisahkan waktu untuk anak-anaknya.
Manifestasi dari "keengganan" orangtua menemui
anak-anaknya, maka terjadilah jembatan yang terputus hubungan antara orang
tua dan anak muda. Begitu lebarnya tali silaturrahim itu, membuat anak muda
Jepang merasa hidup sendiri, dan sebagai kompensasinya mereka bergerilya
untuk menemukan jati diri sendiri. Kesempatan untuk itu mereka dapatkan
dengan melakukan kebebasan bertindak seluas-luasnya.
Jepang sebagai negara maju memenuhi kriteria sebagai
negara industri, termasuk perilaku anak mudanya sekarang dalam mencari
kebebasan. Di antara ciri-ciri masyarakat industri adalah kebebasan yang
diberikan masyarakat kepada penduduknya, maka regimentasi terhadap
perorangan melonggar dan kekuasaan sewenang-wenang berubah. Tempat tinggal,
pekerjaan, perilaku ditentukan sendiri oleh pilihan tiap-tiap orang, dan
bukan sesuatu hal yang diwariskan, begitulah gambaran anak muda Jepang
sekarang.
Kehidupan masyarakat Jepang tempo dulu kelihatan monoton
dan lempeng saja, namun di kalangan anak muda sekarang lebih bebas dan
wanitanya lebih bergelora (kalau tidak mau dikatakan kelewatan).
Menurut beberapa pendapat orang tua Jepang, saat ini
merupakan saat yang sulit, karena anak muda yang tidak hirau pada
kebudayaanya dan lebih mementingkan diri sendiri. Padahal anak muda Jepang
tidak lama lagi akan memasuki usia kerja. Perubahan yang mencolok pada
kebudayaan Jepang akan dapat terlihat begitu anak mudanya sekarang menjadi
"aktor" pada birokrasi dan pelaku bisnis Jepang.
Stereotipe baru
Sejak anaknya masih kecil orangtua telah memikirkan apa
yang harus dilakukannya agar anaknya dapat masuk sekolah favorit. Maka para
orangtua kebanyakan mengangkat seorang tutor khusus dan menyuruh anak mereka
masuk sekolah tertentu di mana diberikan pelajaran tambahan yaitu sekolah
juku.
Ada anggapan umum dari para orang tua Jepang, bila dapat
masuk ke Perguruan Tinggi (PT) favorit akan dapat mendapatkan pekerjaan yang
mapan, sehingga mereka berlomba-lomba untuk lulus ujian karena merupakan
suatu prestise. Berapa banyaknya jumlah mereka yang masuk juku, bukan hal
penting, namun hal yang fundamental adalah kualitas hidup pemuda dalam
bahaya. Bagi mereka yang tidak ikut juku pulang sekolah merasa kesepian,
karena teman-temannya hampir semua ikut juku.
Banyak orang menaruh perhatian pada sistem ujian masuk
Perguruan Tinggi, mereka cemas memikirkan sistem ujian dengan persaingan
yang ketat telah menjadi sebab kualitas hidup remaja menurun. Banyak remaja
Jepang bunuh diri kerap kali dihubungkan dengan persaingan dalam ujian.
Secara psikologis mereka lelah karena dalam mengikuti juku kurang lebih
dibutuhkan waktu 3 jam tambahan setiap hari setelah pulang sekolah, sehingga
hampir jam 8 malam baru dapat pulang. Hasilnya, apabila gagal dalam ujian
secara mental akan down dan malu.
Dari rutinitas di atas, anak muda Jepang sekarang mencari
kompensasi dengan melakukan kebebasan dan menentang orangtua. Malas dan
bandel, cenderung memberontak tatanan (GPK=gerakan pengikut kebebasan)
merupakan gambaran yang pas untuk merefleksikan stereotipe para muda Jepang
sekarang.
Kesibukan orangtua dalam pekerjaan, membuat anak-anak
mereka minus perhatian, akibatnya para muda Jepang bertolak belakang
perilakunya dengan orangtua mereka, model baru manusia Jepang yang bebas dan
"semau gue" muncul ke permukaan.
Kalau kita pergi ke Nagoya, khususnya ke Sakae dan
Oshukannon (pusat perbelanjaan elektronik), sering kita jumpai anak muda
berpose manusia "planet" , khususnya wanita, dengan dandanan yang trendi dan
lain dari pada yang lain, tubuh remaja Jepang yang putih di make up secara
keseluruhan dengan warna coklat menyerupai orang yang tinggal di tepi pantai
(gosong). Semuanya serba liberal, enjoy, dan pokoke aku kok dalam pikiran
mereka.
Saat penulis melakukan penelitian di Nagoya mengenai Ojigi
(budaya Jepang dengan menundukkan kepala bila bertemu orang lain), lewat
observasi hampir 70% anak mudah Jepang tidak melakukan Ojigi bila bertemu
dengan orang lain, sebagai gantinya mereka hanya say hello terutama kepada
teman sebaya. Dekadensi kesopanan yang mulai luntur, mencemaskan semua
pihak. Sebagai ilustrasi ketika berada di Chikatetsu (sub way), orang tipe
lama akan memberikan tempat duduk kepada manula, bukan sebaliknya seperti
sekarang mereka hanya cuek bebek, pura-pura tidak tahu. Justru ironisnya
orang asing yang mengalah memberikan tempat duduk.
Menurut Sakakibara seorang guru SD (orang tua homestay),
generasi muda Jepang memang sulit diatur, mereka cenderung sulit dibatasi
dan bebas bertindak dan suka memberontak yang seolah-olah mencari "rumah"nya
yang hilang.
Manabu Sato, Professor pendidikan dari Universitas Tokyo
(dalam Azrul Ananda) berpendapat bahwa tingkah pola para muda Jepang
sekarang adalah tradisi yaitu rites of passage (semacam ritual serah terima
atau inisiasi). Orang tua mereka diinisiasikan dengan perang dunia kedua,
dan berkewajiban membangun kembali Jepang. Para muda sekarang tidak punya
ritual inisiasi, maka generasi muda harus menciptakan sendiri. Kita hanya
bisa menunggu hasil apa yang akan diperoleh dengan ke-cuek-an para muda
Jepang sekarang dalam menyatukan mereka dimasa mendatang.
Ada hal positif dari para muda Jepang sekarang, meskipun
bandel dan malas namun kreativitas mereka bermunculan, terutama dalam
berdandan yang menjadi rujukan kawula muda negara tetangga. Sekarang
zamannya telah byoodo (antara pria dan wanita mempunyai persamaan hak dan
kewajiban). Gaya dandan keduanya semakin atraktif mulai hidung, bibir yang
dipasang anting-anting hingga daerah alis mata, untuk cowok suka pakaian
belel dengan rambut model nakata, untuk ceweknya dengan pakaian kurang kain
(super mini) plus make up mencolok dengan sepatu atsuzoko (sol tebal).
Banyak sekali orang Jepang tempo dulu yang harus "mengelus
dada", melihat perilaku anak muda Jepang sekarang. Tapi bagi "professional
muda" Jepang inilah momen yang pas untuk menunjukkan jati diri dalam
menyatukan visi mereka di masa datang. Salah satunya adalah cara dandan
mereka yang berbeda dengan generasi sebelumnya yang telah menjalar ke
pelosok negeri dan mancanegara. Apakah masa depan bangsa hanya akan dilihat
dari cara dandannya? Apakah ini sebuah identitas? Meskipun tidak sedikit
orang Jepang sendiri yang harus mengatakan "Mau jadi apa mereka nanti"?
Bagaimana dengan Indonesia?***
Penulis adalah mahasiswa S2 Bahasa Jepang UPI. 4